0
24 Agustus 2015

Posisi Rupiah saat ini hampir mendekati nilai Rupiah saat krisis moneter melanda Indonesia pada 1998. Saat itu Rupiah berada di level Rp 16.800 per USD. Ada yang menyebut, sesungguhnya saat ini Indonesia sudah mengalami krisis dengan skala kecil. Pemerintah mulai intens menggelar rapat koordinasi, mengkaji perkembangan ekonomi terkini. Bank Indonesia mulai mengeluarkan kebijakan moneter memperketat permintaan valuta asing, khususnya dolar AS.



Meski di awal-awal, pemerintah sangat pede dengan perubahan ekonomi yang terjadi di dunia, kini pemerintah dan BI mulai panik menghadapi keterpurukan Rupiah.  Berikut paparan bukti kepanikan pemerintah dan BI : 

Ekonomi sudah tak masuk akal
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 4.350 poin dan nilai tukar Rupiah sebesar Rp sudah menembus Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat (USD) merupakan sentimen yang tidak masuk akal. Bahkan, pelemahan tersebut bukan mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia.

"Kondisi sekarang sudah irasional, yang terjadi sekarang enggak mencerminkan fundamental dan lebih berdasarkan pada sentimen berlebihan," ujar dia di Kantornya, Jakarta, Jumat (21/8).

Beli dolar diperketat
Bank Indonesia mulai melancarkan aksi mencegah agar Rupiah tidak semakin terpuruk. Bank sentral bakal memperketat kebijakan pembelian dolar AS dan mata uang asing lainnya.

Ketentuan pembelian valuta asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
No.10/28/PBI/2008 dengan peraturan pelaksana dalam bentuk Surat Edaran No. 10/42/DPD/2008.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, dalam aturan itu, pengetatan transaksi baru dilakukan untuk nominal di atas USD 100.000 per bulan. Namun, bank sentral mengubah dengan pengetatan transaksi mulai dilakukan untuk nominal USD 25.000.

"Untuk pembelian valuta asing, kami selama ini mengatur yang sampai di atas USD 100.000 pembelian dalam sebulan baru memakai underlying (jaminan dasar) dan itu kami ubah jadi di atas USD 25.000," katanya di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (18/8).

Mantan menteri keuangan era SBY ini menjelaskan, jika seseorang atau perusahaan melakukan pembelian mata uang asing di atas USD 25.000 harus melengkapi beberapa dokumen. Setidaknya mereka harus menyampaikan underlying transaction dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

"Itu juga dikeluarkan dalam penyesuaian PBI (Peraturan Bank Indonesia) nanti akan disampaikan oleh saudara-saudara sekalian," tutup Agus.

Rupiah lebih parah dari Baht
Pemerintah China melakukan kebijakan pelemahan nilai tukar mata uang atau devaluasi Yuan terhadap Dolar Amerika Serikat. Kebijakan tersebut membuat pasar keuangan bergejolak dan berdampak pada nilai tukar mata uang negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan pemerintah China sudah melakukan dua kali pelemahan nilai tukar mata uang Yuan yaitu 1,9 persen pada 11 Agustus 2015 dan 1,6 persen pada 12 Agustus 2015. Pelemahan tersebut membuat nilai tukar Rupiah sedikit terdepresiasi.

Penyebab lainnya adalah kekhawatiran penyelesaian krisis Yunani dan kebijakan Bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga banknya. Dengan begitu, nilai tukar Rupiah telah terdepresiasi mencapai 10,16 persen hingga saat ini.

"Pelemahan tersebut lebih tinggi dari mata uang Won Korea sebesar 8,35 persen, Thailand Baht sebesar 6,62 persen dan Yen Jepang sebesar 3,96 persen," ujar dia usai rapat FKSSK di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (13/8).

Sumber : http://www.islamoderat.com/2015/08/pemerintah-dan-bi-mulai-panik-saat.html

Posting Komentar

 
Top